Mengapa Aksi dan Visi Tak Sejalan Mengatur Royalti Lagu

Mengapa Aksi dan Visi – Berulang kali pemerintah, lembaga kolektif, hingga para stakeholder industri musik menjual mimpi: sistem royalti yang adil, transparan, dan modern. Namun yang terjadi di lapangan adalah kekacauan yang membingungkan bahkan bagi pencipta lagunya sendiri. Visi mereka mulia—melindungi hak musisi, menjamin keadilan, mengatur distribusi royalti secara profesional. Tapi realita di lapangan menyajikan ironi yang menyakitkan: pencipta lagu tak tahu siapa yang memakai karyanya, tak tahu kapan royaltinya cair, bahkan sering kali tak tahu harus menuntut siapa.

Yang lebih menyakitkan, institusi yang seharusnya jadi pelindung malah menjelma jadi tembok tinggi yang menghalangi hak para kreator. Lalu, siapa sebenarnya yang di untungkan dari sistem yang tak jelas ini?

Baca juga : 6 Oktober 1998: Kembalinya Majalah Tempo

Sistem yang Ruwet dan Tidak Ramah Pencipta

Ketika seorang pencipta lagu menyerahkan karyanya kepada lembaga manajemen kolektif (LMK), ia berharap transparansi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Banyak LMK di Indonesia bekerja dalam sistem yang masih manual, tidak real-time, dan nyaris tanpa audit publik. Tak ada transparansi data penggunaan lagu. Tak ada kejelasan jumlah royalti yang di terima dari satu lagu di satu platform tertentu. Data pemutaran lagu di restoran, kafe, hotel, stasiun TV, atau YouTube? Asap di udara. Tak terjangkau oleh mata pencipta.

Visinya? Canggih. Mereka bicara soal digitalisasi, blockchain, sistem tracking otomatis. Tapi aksinya? Masih berkutat di laporan print out, file Excel, dan janji-janji manis yang tak pernah terealisasi. Bahkan pencipta senior pun mengeluh, merasa seperti di permainkan oleh sistem yang katanya untuk melindungi mereka.

Royalti Dipungut, Tapi Tak Pernah Sampai ke Tangan yang Tepat

Salah satu ironi terbesar adalah: royalti di pungut di mana-mana, tapi tidak pernah jelas ke mana uang itu mengalir. Bayangkan, setiap kafe, restoran, pusat perbelanjaan, hingga wedding organizer di kenakan biaya royalti. Tapi apakah para pemilik lagu benar-benar menerima bagian yang adil? Jawabannya sering kali: tidak.

Para pemilik lagu hanya bisa berharap pada sistem distribusi yang “di perkirakan”, bukan berdasarkan data aktual. Lagu yang viral di TikTok bisa jadi tak sepeser pun mengalirkan royalti, karena LMK tak punya sistem untuk memantau platform tersebut. Sementara lagu yang tak pernah di putar pun bisa mendapat bagian, hanya karena data lama atau “tebak-tebakan berbasis genre”.

Aksi seperti ini adalah tamparan keras pada visi ideal yang mereka gembar-gemborkan. Royalti semestinya jadi bentuk penghargaan paling nyata bagi karya seni. Tapi di Indonesia, royalti lebih mirip donasi: tak pasti, tak jelas, dan penuh keberuntungan.

Terlalu Banyak Kepala, Tapi Tak Ada Kepemimpinan

Masalah lain yang semakin memperkeruh sistem ini adalah banyaknya lembaga yang berdiri, tapi tidak memiliki koordinasi. Ada LMK A, LMK B, LMK C, dan entitas payung lainnya. Semua mengklaim sebagai representasi sah para pencipta, padahal justru saling tumpang tindih. Royalti yang semestinya sederhana jadi berlapis-lapis, dan pencipta lagu harus memilih ‘afiliasi’ seperti dalam politik.

Tanpa satu sistem terpadu dan kepemimpinan tunggal yang tegas, sistem ini akan terus menjadi ladang abu-abu yang nyaman bagi mereka yang ingin bermain-main di celah hukum. Para pencipta lagu pun akhirnya hanya bisa gigit jari, menonton karya mereka mendunia—tapi tanpa bayaran yang sepadan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *